Kamis, 10 November 2016

Hakikat Mahabbatulloh


HAKIKAT MAHABBATULLAH
Oleh : Syekh Abdul Bari Bin Awadh Al-Tsubaiti

        Cinta kepada Allah merupakan konsekuensi keimanan. Tidak akan sempurna tauhid (peng-Esaan) kepada Allah hingga seorang hamba mencintai Tuhannya secara sempurna. Kecintaa tidak bisa didefinisikan dengan lebih jelas keculai dengan kata "kecintaan" itu sendiri. Dan tidak bisa disifatkan dengan yang lebih jelas seperti kata "kecintaan " itu sendiri. Tidak ada sesuatu yang esensinya patut dicintai dari segala sisi  selain Allah, yang memang tidak boleh ada penyembahan, peribadatan, ketundukan dan kepatuhan serta kecintaan yang sempurna kecuali hanya kepada Nya –subhanahu wa ta’ala-.
        Cinta kepada Allah, bukanlah sembarang cinta; tidak ada suatu apapun yang lebih dicintai dalam hati seseorang selain Sang Penciptanya, Kreatornya. Dialah Tuhannya, Sesembahannya, Pelindungnya, Pengayomnya, Pengaturnya, Pemberi rezekinya, dan Pemberi hidup dan matinya. Maka mencintai Allah –subhanahu wa ta’ala- merupakan kesejukan hati, kehidupan jiwa, kebahagiaan sukma, hidangan batin, cahaya akal budi, penyejuk pandangan dan pelipur perasaan.

       
Tiada suatu apapun menurut hati yang bersih, sukma yang suci, pikiran yang jernih lebih indah, lebih nyaman, lebih lezat, lebih menyenangkan dan lebih nikmat dari pada kecintaan kepada Allah, merasa tenteram damai di sisi-Nya dan kerinduan akan perjumpaan dengan-Nya.         Yahya Bin Mu’adz berkata :

عَفْوُهُ يَسْتَغْرِقُ الذُّنُوْبَ فَكَيْفَ رِضَوَانُهُ؟، وَرِضْوَانُهُ يَسْتَغْرِقُ الآمَالَ فَكَيْفَ حُبُّهُ؟، وَحُبُّهُ يُدْهِشُ الْعُقُوْلَ فَكَيْفَ وُدُّهُ؟، وَوُدُّهُ يُنْسِي مَا دُوْنَهُ فَكَيْفَ لُطْفُهُ؟


“Ampunan-Nya mencakup (menggugurkan) seluruh dosa, lalu bagaimana lagi dengan ridho-Nya?  Ridho-Nya begitu mendominasi seluruh cita-cita dan harapan, lantas bagaimana dengan kecintaan-Nya? Kecintaan-Nya begitu mengagumkan akal pikiran, lalu bagaimana dengan kasih sayang-Nya? Kasih sayangnya begitu melupakan segala yang selainNya, lalu bagaimana dengan kelembutan-Nya?

        Maka, terukur dengan sejauh mana cinta kasih seseorang kepada Allah, sejauh itu pula ia akan merasakan lezat dan manisnya iman. Barangsiapa yang hatinya karam dalam kecintaan kepada Allah, maka cukuplah hal itu menjadikannya tidak perlu dengan kecintaan, kekhawatiran dan kepasrahan hati kepada selain Allah. Sebab tidak ada yang dapat memuaskan hati, tidak bisa mengisi relung-relung cinta hatinya, serta tidak bisa mengenyangkan rasa laparnya kecuali cinta kepada Allah –subhanahu wa ta’ala-.

        Andakan saja hati seseorang mendapatkan segala apa yang melezatkan, tidaklah ia merasa damai dan tenteram kecuali dengan kecintaannya kepada Allah –subhanahu wa ta’ala-. Jika seseorang kehilangan cinta kepada Allah dalam hatinya, maka kepedihan yang dirasakannya jauh lebih parah dari pada kepedihan mata karena kehilangan cahaya pengelihatan, atau kepedihan telinga karena kehilangan pendengaran, hidung karena kehilangan penciuman dan mulut karena kehilangan kemampuan berbicara, bahkan kerusakan hati akibat kekosongan dari rasa cinta kepada Allah sebagai Penciptanya, Pencetus wujudnya dan Tuhan sesembahannya yang sejati, jauh lebih berat dari pada kerusakan fisik karena terpisah dari nyawanya.

        Esensi (hakikat) cinta adalah bilamana Anda merelakan segala yang Anda miliki untuk seseorang yang Anda cintai sehingga tidak menyisakan sedikitpun apa yang ada pada diri Anda. Di sinilah, maka kecintaan seseorang kepada Allah hendaklah mengalahkan dan mendominasi segala perkara yang dicintai, sehingga apapun yang dicintai oleh seseorang tunduk kepada cinta yang satu ini yang menjadi penyebab kebahagiaan dan kesuksesan bagi dirinya.

        Kadar kecintaan dalam hati orang yang mencintai Allah adalah bertingkat-tingkat. Itulah sebabnya, Allah –subhanahu wa ta’ala- melukiskan betapa besarnya kecintaan orang-orang mukmin kepada-Nya dalam firman-Nya :

وَٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓاْ أَشَدُّ حُبّٗا لِّلَّهِۗ]

“Orang-orang yang beriman sangat mendalam cintanya kepada Allah.”. Qs Al-Baqarah : 165

Kata “Asyaddu” (sangat mendalam) menjadi bukti adanya tingkatan cinta dalam hati mereka. Artinya, ada cinta yang lebih tinggi dan kemudian ada lagi yang lebih tinggi.

        Cinta kepada Allah berarti Anda mengutamakan segala sesuatu yang disenangi Allah di atas diri Anda, jiwa Anda dan harta benda Anda, lalu ketaatan Anda kepada Allah dalam kesendirian dan keramaian, kemudian kesadaran diri akan kelalaian Anda dalam mencintai Allah. Seharusnya secara totalitas Anda mencintai Allah dengan mencurahkan jiwa dan raga serta pengembaraan hati dalam upaya mencari Sang Kekasih, dengan lisan yang selalu bergerak untuk menyebut nama-Nya.

Rasulullah –shallallahu alaihi wa sallam- bersabda :

وَأَسْأَلُكَ حُبَّكَ وَحُبَّ مَنْ يُحِبُّكَ وَحُبَّ عَمَلٍ يُقَرِّبُ إِلَى حُبِّكَ

“Aku memohon kepada-Mu agar dapat mencintai-Mu, mencintai orang-orang yang mencintai-Mu dan mencintai amal yang mendekatkan diriku untuk mencinta-Mu.”

        Suatu kecintaan yang apabila telah melekat di hati seseorang dan memuncak, akan menjadi al-Walah (ketundukan/peribadatan), dan al-Walah adalah kecintaan yang sangat dalam. Karenanya at-taalluh (ketundukan dan peribadatan) kepada Allah adalah bentuk kecintaan yang dalam kepada Allah dan kecintaan terhadap perkara yang datang dari sisi Allah.

        Kebutuhan manusia akan kecintaan secara mendalam kepada Allah jauh lebih mendesak dari pada bebutuhannya akan asupan zat gizi (makanan). Sebab jikalau kekurangan asupan zat gizi itu dapat merusak tubuh seseorang, maka kekurangan cinta yang mendalam (kepada Allah) dapat merusak jiwa spiritualnya.

        Seorang mukmin ketika mengenal Tuhannya, pastilah ia cinta kepada-Nya. Ketika itulah dirinya memusatkan perhatian kepada-Nya. Jika ia telah dapat merasakan manisnya konsentrasi kepada-Nya, maka ia tidak lagi melihat dunia dengan kaca mata syahwat (kelezatan sesaat) dan tidak pula melihat akhirat dengan pandangan pesimistis (kendur semangat).

        Cinta kepada Allah mendorong seseorang melakukan kewajiban dan meninggalkan larangan, memacu seorang hamba melaksanakan amal ibadah sunnah, dan mencegahnya berbuat hal-hal yang makruh (tidak selayaknya dilakukan).

        Cinta kepada Allah memenuhi hati seseorang dengan kelezatan dan manisnya iman.

ذَاقَ حَلَاوَةَ الْإِيْمَانِ مَنْ رَضِيَ بِاللهِ رَبًّا وَبِالْإِسْلَامِ دِيْناً وَمُحَمَّدٍ رَسُولاً

“Akan dapat merasakan manisnya iman, seorang yang ridha Allah sebagai Tuhan-nya, Islam sebagai agamanya, dan Muhammad –shallallahu alaihi wa sallam- sebagai rasul.”

        Cinta kepada Allah dapat mengusir dari dalam hati segala bentuk kecintaan kepada apa saja yang tidak disenangi Allah. Organ-organ tubuh dengan dorongan kecintaan kepada Allah akan tergugah untuk beribadah kepada-Nya, dan jiwa menjadi tenteram karenanya. Allah berfirman dalam hadis qudsi :

فَإِذَا أَحْبَبْتُهُ كُنْتُ سَمْعَهُ الَّذِي يَسْمَعُ بِهِ وَبَصَرَهُ الَّذِي يُبْصِرُ بِهِ، وَيَدَهُ الَّتِي يَبْطِشُ بِهَا، وَرِجْلَهُ الَّتِي يَمْشِي بِهَا .

"Jika Aku telah mencintainya, maka Aku adalah pendengarannya yang dia gunakan mendengar, penglihatannya yang dia gunakan melihat, tangannya yang dia gunakan memukul dan kakinya yang digunakan berjalan.”
 
        Seeorang yang sedang mencintai, karena keasyikan dan kelezatan cintanya ia akan melupakan segala derita cobaan, tidak terasa baginya kepedihan yang dirasakan orang lain. Cinta kepada Allah merupakan kekuatan yang sangat kuat untuk mendorong seseorang mampu bertahan untuk tidak melanggar dan mendurhakai Allah. “Orang yang mencintai tunduk kepada sang kekasih yang dicintainya.” "
إنَّ المُحِبَّ لِمَنْ يُحِبُّ مُطِيْعٌ "

        Semakin kuat dorongan cinta dalam hati seseorang, akan semakin kuat pula dorongan untuk melaksanakan ketaatan serta menghindari kemaksiatan dan pelanggaran. Sebab kemaksiatan dan pelanggaran hanya terjadi akibat lemahnya dorongan cinta dalam diri seseorang.

        Cinta yang sejati, membuat seseorang merasa dikawal oleh pengawas dari sang kekasih untuk membimbing hatinya berikut organ-organ tubuhnya. Hanya sekedar cinta tidak akan berdampak positif seperti ini selama tidak disertai sikap pengagungan dan pemuliaan terhadap sang kekasih. Jika cinta itu disertai sikap pengagungan dan rasa hormat, maka akan melahirkan rasa malu berikut ketaatan. Namun jika kosong dari sikap pengagungan dan rasa hormat, maka cinta model itu hanya membuahkan semacam kemesraan, kepuasan, keharuan dan kerinduan belaka. Itulah sebabnya, mengapa pengaruh positif cinta tersebut tidak ada. Ketika yang bersangkutan memeriksa hatinya, ternyata ia pun menemukan rasa cinta kepada Allah, tetapi cinta yang tidak mendorong dirinya untuk meninggalkan kemaksiatan kepada-Nya.

        Sebabnya adalah, kehampaan cinta tersebut dari sikap pengagungan dan rasa hormat. Padahal tidak ada sesuatu yang mampu memakmurkan hati setara dengan cinta yang disertai sikap pengagungan dan rasa hormat. Itulah anugerah Allah –subhanahu wa ta’ala- yang paling besar dan paling utama bagi seorang hamba, dan itu pula karunia Allah yang berikan kepada orang yang dikehendaki-Nya.

        Cinta yang hampa dari sikap ketundukan dan kerendahan hati, sesungguhnya hanyalah pengakuan cinta yang tidak bermutu. Sama seperti orang yang mengaku dirinya cinta kepada Allah, tetapi tidak mau melaksanakan perintah-Nya dan tidak patuh kepada sunnah Nabi-Nya Muhammad –shallallahu alaihi wa sallam-; tidak meneladaninya dalam ucapan, perbuatan dan amal ibadah.

        Tidak disebut cinta kepada Allah dan tidak pantas mengaku cinta kepada-Nya orang yang tidak meneladani Rasulullah –shallallahu alaihi wa sallam-. Oleh karena itu, Allah menceritakan tentang ucapan orang-orang Yahudi dan Nasrani dalam firman-Nya :

وَقَالَتِ ٱلۡيَهُودُ وَٱلنَّصَٰرَىٰ نَحۡنُ أَبۡنَٰٓؤُاْ ٱللَّهِ وَأَحِبَّٰٓؤُهُۥۚ]

“Orang-orang Yahudi dan Nasrani mengatakan: "Kami ini adalah anak-anak Allah dan kekasih-kekasih-Nya". Qs Al-Maidah : 18


Pengakuan semata tanpa bukti nyata, semua orang pun bisa berbuat seperti itu. Di sinilah Allah memadamkan seluruh pengakuan dan menyingkap kedok kepalsuannya dalam firmanNya :

قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّونَ اللَّهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللَّهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ ]

"Katakanlah jika kalian benar mencintai Allah, maka ikutilah aku, niscaya Allah mencintai kalian dan memaafkan dosa-dosa kalian, dan Allah maha pengampun lagi penyayang." Qs Ali-Imron : 31

        Diantara indikasi cinta kepada Allah adalah mencintai orang-orang yang taat kepada Allah, loyal kepada wali-wali Allah, dan memusuhi orang-orang yang membangkang kepada-Nya, berjihad melawan musuh-musuh-Nya dan menolong para penolong-Nya. Semakin kuat kecintaan hamba kepada Allah maka semakin kuat pula praktik amal-amalnya.

Di sini penting bagi kita untuk mengenal Sebab-Sebab Yang Mendatangkan Kecintaan Kepada Allah. Diantaranya  :

Mengenal nikmat dan karunia Allah kepada para hambaNya yang tidak terhitung dan tidak terhingga.

وَإِنْ تَعُدُّوا نِعْمَةَ اللَّهِ لَا تُحْصُوهَا ]

"Dan jika kalian menghitung nikmat-nikmat Allah maka kalian tidak akan mampu menghitungnya" (QS An-Nahl : 18)

وَأَحْسِنْ كَمَا أَحْسَنَ اللَّهُ إِلَيْكَ ]

"Dan berbuatlah baik sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu." Qs Al-Qosos : 77

        Diantara sebab yang mendatangkan kecintaan kepada Allah adalah mengenal Allah –subhanahu wa ta’ala- melalui nama-namaNya yang terindah dan sifat-sifatNya serta perbuatan-perbuatanNya.  Siapa yang mengenal Allah maka ia akan mencintai Allah, siapa yang mencintai Allah maka ia akan taat kepadaNya, siapa yang taat kepada Allah maka Allah akan memuliakannya, dan siapa yang dimuliakan Allah maka Allah akan menempatkannya di sisiNya, dan siapa yang ditempatkan oleh Allah di sisi-Nya maka sungguh mujur nasibnya.

        Di antara penyebab utama cinta kepada Allah adalah merenungkan tentang kerajaan-Nya di langit dan di bumi. Semua yang Allah ciptakan merupakan tanda-tanda yang melambangkan keagungan-Nya, kemaha-kuasaan-Nya, kemuliaan-Nya, kesempurnaan-Nya, keperkasaan-Nya, kelembutan dan kasih sayang-Nya, dan nama-nama Allah yang demikian indah serta sifat-sifatNya yang luhur lainnya. Maka semakin kuat makrifat (pengenalan) hamba tentang Allah, maka semakin kuat pula rasa cintanya kepada Allah dan kecintaannya untuk mentaati-Nya. 

        Di antara sebab yang mendatangkan kecintaan kepada Allah adalah bersikap tulus dan ikhlas dalam bermu’amalah dengan Allah, serta tidak menuruti kemauan hawa nafsu. Hal ini merupakan penyebab turunnya karunia Allah kepada hambaNya sehingga anugerah cinta kepada-Nya dapat diraih.

        Diantara sebab terbesar untuk mendatangkan kecintaan kepada Allah adalah memperbanyak dzikir ( mengingat) Allah.

"
فَمَنْ أحَبَّ شيْئًا أكْثَرَ مِنْ ذِكْرِهِ "

“Siapa yang cinta kepada sesuatu, maka ia akan sering menyebutnya.
Allah berfirman :

أَلَا بِذِكْرِ اللَّهِ تَطْمَئِنُّ الْقُلُوبُ [ الرعد / 28]

"Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah-lah hati menjadi tentram." Qs Ar-Ra'du : 28

Khotbah Kedua:  Saudara-saudaraku seiman!

Di sini ada empat bentuk kecintaan yang harus dibedakan satu dengan yang lainnya.

Pertama : Kecintaan kepada Allah. Kecintaan ini semata tidak cukup untuk menyelamatkan seseorang dari azab Allah dan meraih ganjaran dari pada-Nya. Karena kaum musyrikin, para penyembah salib, kaum yahudi, dan yang lainnya juga mencintai Allah.

Kedua : Mencintai apa yang dicintai oleh Allah, dan kecintaan inilah yang memasukan seseorang ke dalam Islam dan mengeluarkannya dari kekufuran. Sedangkan orang yang paling dicintai oleh Allah adalah yang paling mampu mengaplikasikan kecintaan ini dan yang paling konsisten menjalankannya.

Ketiga : Cinta di jalan Allah dan karena Allah. Maka inilah konsekuensi dari mencintai apa yang dicintai oleh Allah, yang mana tidak akan lurus kecintaan apa yang dicintai oleh Allah kecuali melalui cinta di jalan-Nya dan karenaNya.

Keempat : Mencintai selain Allah di samping cinta kepada Allah. Inilah cinta kesyirikan. Maka semua yang mencintai sesuatu yang lain bersamaan dengan kecintaan kepada Allah, bukan karena Allah, dan bukan juga di jalan Allah, maka ia telah menjadikannya sebagai partner atau tandingan bagi Allah. Inilah bentuk kecintaan kaum musyrikin.

وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَتَّخِذُ مِنْ دُونِ اللَّهِ أَنْدَادًا يُحِبُّونَهُمْ كَحُبِّ اللَّهِ وَالَّذِينَ آمَنُوا أَشَدُّ حُبًّا لِلَّهِ [البقرة/165]

"Dan diantara manusia ada orang-orang yang menyembah tandingan-tandingan selain Allah, mereka mencintainya sebagaimana mereka mencintai Allah. Adapun orang-orang yang beriman, maka amat sangat mendalam cintanya kepada Allah." Qs Al-Baqoroh : 165

Hikmah Di balik Penistaan Al-Qur'an


HIKMAH DI BALIK PENISTAAN AL-QUR'AN

Peristiwa penistaan al-Qur'an yang terjadi belum lama ini cukup meninggalkan luka yang dalam di hati kaum muslimin. Kemarahan umat yang kemudian terekspresikan dalam bentuk aksi damai yang beradab merupakan reaksi yang wajar dan alamiah. Artinya, sudah sewajarnya kaum muslimin marah, menuntut hukuman yang setimpal bagi sang penista dan mereka tidak rela jika ia dibiarkan bebas begitu saja.
Di sisi lain berbagai kekhawatiran muncul di benak umat, bahwa jangan-jangan si penista itu akan lolos dari hukum dikarenakan ia memiliki jabatan yang cukup tinggi yaitu gubernur DKI dan juga backing keuangan yang relatif sangat kuat. Kita sering mendengar sebagian orang berkata dengan nada pesimif, “Di negeri ini apa yang tidak bisa dibeli dengan uang.”
Di tengah suasana yang tidak menentu ini, beredar berita atau isu bahwa Ahok dan kroninya telah siap menggelontorkan dana 200 milyar untuk melepaskan Ahok dari semua tuntutan hukum. Jika isu ini benar, maka ini merupakan petaka besar. Kenapa petaka besar? Karena strategi semacam ini dapat menyeret orang-orang yang lemah imannya untuk masuk dalam barisan pengusung kemunafikan.
Kita tidak boleh lupa, al-Qur'an telah berulang kali mengingatkan bahwa harta/amwaal adalah cobaan (fitnah) yang cukup berbahaya bagi manusia. Tidak sedikit manusia yang menggadaikan keyakinannya hanya untuk meraup sedikit harta. Ditambah lagi bahwa diantara tanda-tanda dekatnya hari kiamat adalah munculnya beragam fitnah yang akan melanda umat. Hal ini sebagaimana diisyaratkan dalam sebuah hadits berikut:  
بَادِرُوا بِالأَعْمَالِ فِتَنًا كَقِطَعِ اللَّيْلِ الْمُظْلِمِ يُصْبِحُ الرَّجُلُ مُؤْمِنًا وَيُمْسِى كَافِرًا وَيُمْسِى مُؤْمِنًا وَيُصْبِحُ كَافِرًا يَبِيعُ أَحَدُهُمْ دِينَهُ بِعَرَضٍ مِنَ الدُّنْيَا قَلِيْلٍ
“Bersegeralah kalian melakukan amal-amal shalih sebelum datangnya fitnah-fitnah yang datang bagaikan potongan-potongan malam yang gelap, yang karena fitnah itu seseorang berpagi hari dalam keadaan beriman kemudian di sore harinya ia kafir, dan ada pula yang di sore harinya ia beriman lalu di pagi harinya ia kafir. Ia menjual agamanya dengan harta benda dunia yang sedikit.” (HR. Tirimidzi dan Ahmad)
Di antara sunnatullah (ketetapan Allah) yang tidak akan berubah pada hamba-hamba-Nya adalah al-ibtila’ wat tamhish (ujian dan penyaringan). Allah Ta'ala sekali-kali tidak akan membiarkan orang-orang munafik berbaur dengan orang-orang mukmin. Tetapi Allah akan merancang  berbagai peristiwa yang dapat menjadi penyaring antara orang-orang beriman dengan orang-orang munafik.
Allah berfirman:    
“Allah sekali-kali tidak akan membiarkan orang-orang yang beriman dalam keadaan kalian sekarang ini yaitu bercampur-baurnya kaum muslimin dengan kaum munafikin sehingga Dia menyisihkan yang buruk (orang munafik) dari yang baik (orang mukmin).” (QS. Ali ‘Imran: 179)
Peristiwa penistaan al-Qur'an kemarin benar-benar menjadi batu ujian bagi keimanan. Orang-orang mukmin yang jujur niscaya akan marah dan tidak rela mendengar kitab sucinya dilecehkan. Adapun orang-orang munafik akan mencari seribu satu alasan untuk membenarkan tindakan Ahok yang telah jelas-jelas menistakan kitab suci al-Qur'an. Mereka ini sebenarnya telah menukar kenikmatan akhirat yang kekal abadi dengan kesenangan dunia yang singkat.
Namun demikian, sikap orang-orang munafik yang siap menjadi pembela Ahok ini bukan suatu hal yang aneh karena para munafik akan senantiasa ada di setiap zaman. Terlebih lagi al-Qur'an telah mensinyalir keberadaan orang-orang semacam ini. Allah berfirman:

“Maka kamu akan melihat orang-orang yang ada penyakit dalam hatinya (orang-orang munafik) bersegera mendekati mereka (Yahudi dan Nasrani), seraya berkata: "Kami khawatir akan mendapat bencana". Mudah-mudahan Allah akan mendatangkan kemenangan (kepada Rasul-Nya), atau suatu keputusan dari sisi-Nya sehingga mereka menjadi menyesal terhadap apa yang mereka rahasiakan dalam diri mereka.” (QS. Al-Ma’idah: 52)
Pertanyaannya, apakah fenomena kemunafikan yang identik dengan kemurtadan ini akan membahayakan Allah Ta'ala? Biarlah al-Qur'an sendiri yang menjawabnya.

“Wahai orang-orang yang beriman, barangsiapa di antara kalian yang murtad dari agamanya, maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan mereka pun mencintai-Nya, yang bersikap lemah lembut terhadap orang-orang yang beriman, tetapi bersikap keras terhadap orang-orang kafir, yang berjihad di jalan Allah, dan yang tidak takut kepada celaan orang yang suka mencela. Itulah karunia Allah yang diberikan-Nya kepada siapa yang Dia kehendaki. Dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya), lagi Maha mengetahui.” (QS. Al-Ma’idah: 54)
Adapun pertanyaan besar bagi kita, apakah kita termasuk dalam generasi/kaum yang akan didatangkan oleh Allah untuk berjihad di jalan-Nya demi membela kesucian agama-Nya? Boleh jadi kita semua mengklaim bahwa kita termasuk di dalam golongan tersebut. Tetapi bagi Allah Ta'ala tidaklah bermanfaat klaim atau pengakuan semata. Yang akan dilihat oleh Allah adalah pembuktiannya. Yang akan Dia sorot adalah hati dan amal-amal kita.
Ya Allah, jadikanlah kami termasuk hamba-hamba-Mu yang Engkau maksudkan dalam firman-Mu pada ayat 54 surat Al-Maidah. Wahai Dzat Yang membolak-balikkan hati, teguhkanlah hati-hati kami di atas dien-Mu.