Rabu, 22 Februari 2017

Sekularisme dalam Dunia Pendidikan




Oleh: Ibrahim Bafadhol
Abstrak
Salah satu prinsip sekularisme dalam pendidikan adalah memisahkan antara pendidikan akal (intelektual) dan rohani (spritual). Padahal, manusia –sebagaimana diciptakan Allah- tidaklah terpecah-pecah. Manusia adalah kesatuan yang sempurna, rohaninya tidak berpisah dari fisik, dan fisiknya tidak berpisah dari rohani. Ketika pendidikan terpisah dari petunjuk agama maka yang terjadi adalah kekeringan rohani pada sebagian siswa dan kebimbangan pada sebagian yang lainnya. Salah satu latar belakang pemikiran yang melandasi semangat sekularisasi pendidikan di negeri-negeri Islam adalah, memajukan peradaban di negeri-negeri Islam dengan cara memisahkan sistem pendidikan dari “campur tangan” agama. Makalah ini menjelaskan beberapa dampak negatif penerapan sekularisme dalam ranah pendidikan dan juga solusi yang sekiranya dapat diambil oleh para pendidik muslim.

A.   Pengantar 
Salah satu tantangan dakwah yang merupakan PR bersama umat Islam adalah sekularisme. Dalam makalah singkat ini penulis hanya membatasi sekularisme dalam bidang pendidikan saja. Dengan membaca makalah singkat ini, penulis berharap masyarakat akan menyadari tentang dampak buruk sekularisme dalam dunia pendidikan.
Sekularisme identik dengan laa diniyyah (tidak terikat ad-dien), yaitu sebuah gagasan yang menyeru untuk menegakkan kehidupan di atas landasan ilmu dan akal serta memperhatikan kemaslahatan tanpa terikat dengan agama.. Makna yang telah disepakati dari kata sekularisme adalah memisahkan agama dari negara serta kehidupan bermasyarakat dan mempersempit ruang bagi agama sehingga hanya tersimpan pada jiwa setiap individu, tidak boleh melampaui hubungan khusus antara dia dengan Rabbnya. Jika agama hendak diekspresikan, maka hanya boleh pada ritual-ritual peribadatan dan hal-hal yang terkait dengan perkawinan dan kematian saja. Sekularisme sejalan dengan agama Kristen dalam hal memisahkan antara agama dan negara, ya’ni wewenang negara adalah urusan kaisar sedangkan wewenang gereja adalah urusan Allah. Hal ini nampak jelas dari sebuah ungkapan yang dinisbatkan kepada al-Masih, “Berikanlah hak kaisar untuk kaisar dan hak Allah untuk Allah.” Adapun dalam Islam, dikotomi semacam ini tidak dikenal karena seorang muslim seluruhnya milik Allah, dan kehidupan seluruhnya milik Allah. Allah  berfirman:
ö@è% ¨bÎ) ÎAŸx|¹ Å5Ý¡èSur y$uøtxCur ÎA$yJtBur ¬! Éb>u tûüÏHs>»yèø9$# ÇÊÏËÈ  
Katakanlah: Sesungguhnya shalatku, ibadatku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam.” (QS.  al-An‘am: 162) [1]




B.     Keterpaduan dalam pendidikan adalah tuntutan fitrah
Salah satu titik kelemahan sekularisme dalam pendidikan adalah memisahkan antara pendidikan akal (intelektual) dan rohani (spritual). Padahal, manusia –sebagaimana diciptakan Allah- tidaklah terpecah-pecah dan terbagi-bagi. Manusia adalah kesatuan yang sempurna dan satu eksistensi, rohaninya tidak berpisah dari fisik, dan fisiknya tidak berpisah dari rohani, akalnya tidak berpisah dari perasaan dan perasaannya tidak  berpisah dari akal. Manusia adalah sebuah kesatuan yang tidak terbagi-bagi menjadi fisik, rohani, akal dan hati nurani. Karenanya, tujuan, sasaran dan jalannya harus satu. Dan inilah yang telah ditetapkan Islam. Islam menjadikan tujuan manusia satu yaitu Allah, dan sasarannya adalah akhirat. [2]
Ketika pendidikan terpisah dari petunjuk agama maka yang terjadi adalah kekeringan rohani pada sebagian siswa dan kebimbangan pada sebagian yang lainnya. Oleh karena itu, pendidikan mestilah terpadu sebagaimana hakikat manusia juga terpadu.
C.     Dampak Buruk Sekularisme Dalam Bidang Pendidikan
Dari pengantar di atas menjadi jelas bahwa sekularisme adalah sebuah pola hidup yang jauh dari cahaya wahyu. Oleh karena itu, dampak buruk dari penerapan sekularisme dalam pendidikan tidak dapat dihindari. Di antara sekian banyak dampak buruk tersebut adalah:
1.     Membuka pintu bagi tumbuhnya paham atheisme. Ini dikarenakan paham sekularisme tidak menanamkan keyakinan terhadap Allah Sang Pencipta dalam jiwa para siswa, bahkan yang terjadi justru mengajarkan teori yang mengarah kepada atheisme seperti teori Darwin, teori asal-usul terjadinya alam semesta dan sebagainya.[3] Penulis pernah berdialog dengan seorang mahasiswa Muslim Indonesia yang menempuh pendidikan pascasarjana di Amerika Serikat. Ia mengaku bahwa setelah beberapa tahun kuliah di Amerika ia jadi ragu dengan semua agama bahkan hingga ragu akan keberadaan Allah. Akhirnya ia meninggalkan shalat sampai bertahun-tahun. Juga tidak lagi pernah berdoa kepada Allah. Ia merasa tidak lagi butuh kepada Tuhan. Beruntung ia tersadarkan oleh suatu musibah. Setelah bertahun-tahun ia tidak beragama ia tertimpa suatu kesulitan dan musibah yang memaksanya untuk berdoa kepada Allah dan memohon pertolongan kepada-Nya. Ia telah lupa sama sekali dengan kaifiyat shalat dan bacaaan-nya. Akhirnya ia belajar kembali tentang tata cara shalat, alhamdulillah.
2.     Membuka pintu lebar-lebar bagi kerusakan akhlak. Sekularisme tidak memandang tabu atau aib pergaulan bebas antara siswa-siswi selama mereka sudah dewasa dan dilakukan dengan pillihan mereka sendiri.[4] Bukti akan hal ini adalah maraknya kenakalan remaja dan dekadensi moral di kalangan para pelajar. Media massa banyak merekam hal ini. Pergaulan bebas atau seks bebas di kalangan anak baru gede (ABG) di kota-kota besar Indonesia sudah sangat mengkhawatirkan. Menurut sebuah survei, lebih dari 50 persen ABG di kota-kota besar sudah tidak perawan lagi akibat pergaulan bebas. [5]
3.     Terputusnya hubungan sejarah dengan para pendahulu kaum Muslimin yang luhur.
Dalam buku-buku pelajaran sejarah yang diajarkan di sekolah-sekolah, para siswa hanya diajarkan sejarah nasional yang dimulai dari berdirinya kerajaan Sriwijaya, Majapahit dan sebagainya. Sedangkan tentang sejarah para khalifah yang lurus (al-khulafa’ ar-rasyidin) samasekali tidak diajarkan. Begitu pula kepahlawanan para sahabat Nabi shallallahu ‘aliahi wasallam yang lainnya. Sehingga para pelajar dan generasi muda tidak mengenal dengan baik sejarah para pendahulu mereka yang luhur dan layak dijadikan teladan. Dengan demikian terjadilah keterputusan ikatan sejarah antara para pelajar muslim dengan para pendahulu mereka yang shalih.
Ini adalah sebuah rekayasa para orientalis yang disengaja, ya’ni membuat generasi muda muslim mengabaikan sejarah para leluhur mereka yang agung mulai dari sirah nabawiyah hingga sejarah para pahlawan Islam, penakluk, ulama, tokoh-tokoh ternama dan para da’i yang telah berjasa membawa obor Islam  yang terang-benderang pada setiap masa dan tempat.[6]
4.     Terabaikannya pendidikan rohani. Hal ini dikarenakan sekularisme melupakan karakter manusia yang terdiri dari unsur fisik dan psikis, atau jasmani dan rohani. Ia hanya memberikan perhatian besar pada sisi fisik dan tidak peduli dengan tuntutan rohani. Tidak terpenuhinya kebutuhan rohani akan memicu timbulnya kriminalitas dan penyimpangan moral.[7] Penulis mengamati bahwa pelajaran agama yang hanya dua jam pelajaran dalam seminggu sama sekali tidak memenuhi kebutuhan siswa akan pembinaan rohani dan keagamaan yang baik. Ditambah lagi, dalam ujian nasional (UN), mata pelajaran agama tidak termasuk dalam mata pejaran yang diujikan, sehingga hal ini membuat para siswa berpandangan bahwa mata pelajaran agama tidak terlalu penting.
5.     Mengaburkan keimanan terhadap perkara-perkara yang ghaib. Dalam sistem sekularisme, fenomena-fenomena alam dikaji dan dianalisa secara eksperimental dan terlepas dari kekuasaan Ilahi. Di samping itu juga meremehkan perkara-perkara ghaib seperti keimanan kepada hari akhir, pahala, dosa dan sebagainya. Akibatnya, sebagai hasil dari pendidikan yang sekular itu tumbuhlah suatu masyarakat yang tujuan hidupnya adalah kesenangan dunia semata.[8]
6.     Pergeseran nilai-nilai dan norma-norma. Pendidikan yang sekular berdampak menghapus nilai-nilai dan norma-norma Islami dari jiwa para siswa, lalu mengantinya dengan nilai-nilai Barat. Sebagai contoh, idola dan ketokohan dalam masyarakat Islam teruntuk orang-orang yang shalih dan komitmen dengan syari’at, baik mereka para ulama yang rabbani atau para pemimpin yang shalih. Jadi, standar kemuliaan dan keutamaan adalah ketakwaan. Akan tetapi kini, kita dapati dalam masyarakat kita yang telah tersekularkan, tokoh dan idola yang selalu disorot oleh media massa dan dikagumi oleh masyarakat luas adalah orang-orang yang jusrtu rendah ketakwaannya, bahkan dapat dikatakan fasik seperti: artis, penyanyi, pelawak, atlet dan sebagainya.[9]
Inilah beberapa di antara dampak buruk diadopsinya sistem sekularisme dalam dunia pendidikan kita. Dengan mencermati dampak-dampak buruk tersebut tentu kita tidak dapat menganggap ringan permasalahan ini.
7.     Pendidikan  yang dipisahkan dari nuansa religius hanya akan melahirkan berbagai kepincangan dan problem. Seorang psikiater Amerika Serikat dalam bukunya yang berjudul Kembali kepada Iman, menekankan pentingnya pendidikan generasi muda dengan nuansa religius. Ia memaparkan kesalahan pendapat sebagian pendidik yang hendak menjauhkan jiwa agama dalam pendidikan anak-anak. Ia mengakui bahwa pendidikan adalah suatu tugas yang amat kompleks dan rumit, terkait dengan banyak faktor. Selain itu, para pendidik memerlukan bantuan luar untuk menanamkan nilai-nilai terpuji ke dalam jiwa anak-anak didiknya. Ia mengkritik para pendidik yang merasa dirinya terpelajar kemudian merasa tidak membutuhkan nilai-nilai agama, dan mencari sumber baru yang dianggapnya dapat menolong. Mereka pun menemukan psikologi anak. Akan tetapi ilmu ini tidak dapat dipegang sepenuhnya atau dipercaya seratus persen tentang kebenarannya. [10]
Ia menekankan pula pentingnya kembali kepada agama dan mengikuti cara-cara yang digariskan oleh agama dalam mendidik generasi dan memperbaiki moral mereka. Ia berpendapat bahwa tidak ada jalan yang lebih baik untuk mendidik generasi selain mengucapkan kepada mereka, “Ini baik, karena Allah memerintahkannya. Allah menyukai dan senang kepada yang baik dan akan memberikan balasan surga kepada orang-orang yang berbuat baik. Ini buruk, karena Allah melarangnya. Allah benci dan murka melihatnya, dan ananti akan menyiksa dengan neraka kepada orang yang melakukannya.”
Cara yang demikian lebih baik daripada mengatakan, “Ini baik atau buruk, karena begitu pandangan ibu bapak, dan pandangan masyarakat...” dan seterusnya. Yang disebut terakhir memiliki kesan sementara, dan kelak anak akan berpendapat bahwa pandangan masyarakat telah berubah seiring dengan perkembangan zaman.[11]
D.   Latar belakang sekularisme pendidikan di negeri-negeri Islam
Salah satu latar belakang pemikiran yang melandasi semangat sekularisasi pendidikan di negeri-negeri Islam adalah, memajukan peradaban di negeri-negeri Islam dengan cara memisahkan sistem pendidikan dari “campur tangan” agama. Para pengusung sekularisasi itu beranggapan bahwa kemajuan dan modernisasi tidak akan dapat diraih kecuali jika kita telah menanggalkan atribut-atribut agama yang merupakan belenggu dan beban berat untuk mencapai kemajuan. Anggapan semacam ini banyak mewarnai pola pikir para cendekiawan kita, khususnya para  alumnus barat. Asumsi ini adalah salah satu keberhasilan ghazwul fikri dalam mewarnai pola pikir generasi muda kita.
Para pemikir Eropa, seperti Arnold Toynbee, berusaha menanamkan pendapatnya di benak orang-orang non-Eropa bahwa memegang nilai-nilai budaya Eropa adalah syarat penting untuk memperoleh kemajuan tekhnologi dan sains. Lebih dari itu, Toynbee menegaskan bahwa di hadapan dunia sekarang hanya ada dua alternatif, yaitu mengikuti jejak langkah Eropa atau hancur. Para pengusung sekularisasi terus mengulang-ulang ungkapan seperti itu tanpa dapat menopangnya dengan argumentasi yang ilmiah dan obyektif.[12]
Sebenarnya, jika dianalisa secara ilmiah dan kritis, pendapat itu tidak tepat. Adalah sesuatu yang pasti bahwa sains (ilmu pengetahuan) tidak terikat dengan negeri atau kebangsaan tertentu sebab ia terkait dengan alam (fisis) yang hukum-hukumnya tetap dan tidak pandang bulu serta terkait dengan materi yang mempunyai sifat sifat tetap pula. Berbeda dengan budaya yang mengandung nilai nilai pikiran, psikologis, spritual dan moral. Jadi budaya merupakan hasil peradaban yang sangat terkait dengan kepribadian dan ciri ciri khusus setiap bangsa, dari segi agama dan ideologi.
Demikianlah, -mau atau tidak- kita harus berkata, bahwa ungkapan ungkapan para pengusung sekularisme itu adalah ekspresi atau manifestasi dari sikap kejiwaan yang keliru terhadap peradaban Eropa, peradaban Islam dan sendi sendinya yang asli. Mungkin sikap kejiwaan yang keliru itulah yang sejak lama diungkapkan oleh peneliti Muslim asal Austria, Leopold Weiss (Muhammad Asad):
“Sesungguhnya kecenderungan meniru budaya asing akibat merasa kekurangan, ini saja penyakit –tidak ada lain- yang menimpa kaum muslimin yang meniru budaya Barat.” [13]
E.   Perbedaan antara Islam dan Kristen dalam memandang ilmu
Salah satu penyebab munculnya sekularisme di Eropa adalah sikap gereja dan para pemuka-pemukanya yang memusuhi ilmu pengetahuan. Gereja dengan semangat doktrinnya yang tidak ilmiah, telah terbukti berulang kali menyatakan sesuatu yang sangat bertentangan dengan ilmu pengetahuan.
Safar al-Hawali, dalam bukunya, al-‘Almaniyyah; Nasya’tuha wa Tathawwuruha wa Atsaruha, mengungkapkan banyak fakta tentang perdebatan antara ilmu pengetahuan dan gereja di abad-abad pertengahan. Di antaranya adalah:
Gereja berpendapat bahwa bumi adalah datar dan ia sebagai pusat tatasurya. Sedangkan Copernicus berpendapat bahwa bumi adalah bulat dan ia berputar di sekitar matahari. Kemudian terbukti bahwa gereja berdusta dan ilmu pengetahuan-lah yang benar.
Gereja berkeyakinan bahwa 1+1+1= 1, sedangkan matematika dasar menyatakan bahwa hasil dari penjumlahan itu adalah 3. Gerja berpendapat –karena mengikuti teori Aristoteles- bahwa lam semesta terdiri dari emapat unsur, sedangkan ilmu pengetahuan menyatakan bahwa unusr-unsur di alam semesta lebih dari sembilan puluh. Dan terbukti bahwa ilmu pengetahuan benar dan gereja-lah yang salah.
Gereja berkata bahwa Taurat, Injil dan surat-surat rasul adalah kitab-kitab wahyu dari Allah, sedangkan para kritikus sejarah mengatakan bahwa kitab-kitab itu adalah susunan para penulis yang kurang obyektif. Kemudian terbukti bahwa mereka benar dan gereja keliru. Gereja berkata sesungguhnya roti dan anggur pada perjamuan tuhan akan berubah menjadi darah dan jasad al-Masih, sedangkan ilmu pengetahuan dan akal secara aksioma menyatakan bahwa hal itu mustahil.
Gereja berkata sesungguhnya penyakit itu dari setan dan mengobatinya adalah dengan mengadakan kebaktian dan mengusap-usap salib, sedangkan ilmu pengetahuan berkata sesungguhnya penyakit disebabkan oleh zat-zat yang sangat kecil (kuman) yang dapat dimusnahkan dengan bahan-bahan kimia.[14]
Rentetan panjang kekeliruan gereja ini membuat orang-orang berkesimpulan bahwa ilmu pengetahuan senantiasa benar sedangkan agama selalu keliru. Terlebih lagi gereja telah menegaskan bahwa tidak ada yang berhak disebut agama kecuali ajaran-ajaran gereja yang suci. Sehingga, logis sekali jika suara-suara yang memprotes gereja terdengar nyaring dari kalangan peneliti dan selain mereka, “Bebaskan ilmu dari belenggu gereja dan biarkan ajaran-ajaran gereja pergi ke neraka.” Inilah salah satu faktor yang  melatarbelakangi sekularisme ilmu pengetahuan di Eropa.[15]
Sedangkan jika kita berbicara tentang Islam, dapat dikatakan bahwa pendapat yang menyatakan bahwa terdapat kontradiksi antara Islam dan sains ataupun teknologi adalah jauh dari kebenaran, baik ditinjau secara normatif ataupun secara ilmiah.
Seorang cendekiawan wanita Itali, Lurofishia Faghrily, menulis pada akhir studinya tentang Islam sebagai berikut:
“Sesungguhnya Islam, agama yang menjadikan berfikir sebagai landasannya dan membuka luas luas aspek ini bagi akal dan menyuruh manusia untuk memaksimalkan seluruhnya potensi yang Allah berikan kepada manusia, termasuk di antaranya potensi terbesar ini yaitu kecerdasan; sesungguhnya agama seperti ini tak mungkin menjadi kendala bagi ilmu/sains dan filsafat.” [16]
Seorang sejarawan besar Amerika, William James Durant (Will Durant) banyak memberikan kesaksiaannya yang positif tentang penghargaan dan perhatian Islam terhadap ilmu pengetahuan. Ia menulis dalam bukunya, The Story of Civilization, beberapa hal yang mengagumkan tentang Islam. Ia berkata:
Ulama dalam pandangan Islam bukan hanya mereka yang mengajar agama di masjid-masjid yang tersebar dari Cordova hingga Samarkand. Semua ahli ilmu bersumberkan nilai-nilai Qur’ani, baik pakar geografi, sejarawan, sastrawan, kimiawan, ahli geometri, astronomi, dan ilmu-ilmu lainnya juga disebut ulama. Para penguasa muslim juga men-support para sastrawan dan seniman muslim untuk menampilkan karya-karya mereka dengan menggelar diskusi-diskusi ilmiah ataupun filsafat. Para penguasa muslim tidak pernah pelit membantu pengadaan dana untuk kegiatan seni budaya dan keilmuan. Gairah keilmuan di wilayah-wilayah kekuasaan Islam tidak pernah mati dan para ilmuwan muslim di semua bidang keilmuan tidak terhitung banyaknya.[17]
Sesungguhnya tidak perlu disangsikan lagi bahwa dalam Islam tidak terdapat pertarungan antara agama dan ilmu pengetahuan, bahkan Islam membuka pintu lebar-lebar bagi ilmu pengetahuan, pemikiran, dan penelitian. Islam tidak mengikat kebebasan para ilmuwan dan peneliti. Al-Qur'an telah menyeru kepada ilmu pengetahuan dengan segala metodologinya pada lebih dari tujuh ratus lima puluh ayat. Dengan panduan al-Qur'an tumbuhlah di negeri-negeri Islam kebangkitan ilmu pengetahuan, dan para ilmuwan Muslim telah menguasai metodologi penelitan ilmiah dan menerapkannya dalam penelitian-penelitian mereka hingga menemukan banyak sekali penemuan-penemuan ilmiah dalam berbagai bidang seperti kimia, kedokteran, astronomi dan sebagainya. Ini semua merupakan bukti bahwa dalam Islam tidak terdapat pertentangan antara ilmu dan agama. Oleh karena itu, pemikiran untuk memisahkan ilmu pengetahuan dari agama adalah sesuatu yang tidak beralasan dalam pandangan Islam.[18]
F. Solusi terhadap sekularisme pendidikan
Telah jelas bahwa sekularisme, khususnya dalam bidang pendidikan, adalah sebuah tantangan dakwah kontemporer yang tidak ringan. Umat Islam harus bahu membahu untuk menghadapi satu arus yang merusak ini. Di antara solusi yang dapat dilakukan adalah:
1.      Para peneliti dan cendekiawan muslim hendaknya giat menulis buku-buku yang menyadarkan umat akan bahaya sekularisme ini. Begitu pula para ulama, khatib, da’i dan para jurnalis, semuanya harus melaksanakan kampanye penyadaran umat. Semua media –seperti mimbar jum’at, surat kabar, radio dan televisi- harus diberdayakan untuk hal ini.
2.      Para ahli pendidikan Muslim dituntut untuk menyusun kurikulum pendidikan yang memadukan antara sains dan keimanan. Tidak hanya menyusun kurikulum, tetapi juga buku-buku pelajaran yang menunjang kurikulum tersebut.
3.      Sekolah-sekolah Islam hendaknya menerapkan kurikulum tersebut sehingga menjadi proyek percontohan pola pendidikan yang religius. Besarnya minat para orang tua untuk menyekolahkan anak-anak mereka di sekolah-sekolah Islam terpadu adalah suatu bukti kepercayaan kaum muslimin terhadap sistem pendidikan yang non-sekuler.
4.      Para guru Muslim yang mengajar di sekolah-sekolah sekular hendaknya meng-Islamisasi mata pelajaran yang mereka ampu. Mereka harus memberikan nuansa religius pada setiap mata pelajaran yang mereka ajarkan kepada para anak didiknya.
Inilah beberapa solusi yang dapat penulis tawarkan agar umat Islam dapat secara bersama-sama melawan arus global sekularisme.

G.  Pendidikan Yang Ideal Menurut Islam
Islam memperhatikan pendidikan dan pengajaran sebagaimana perhatiannya terhadap perundang-undangan dan tasyri’, bahkan sebelum perhatiannya terhadap perundang-undangan dan tasyri’. Karena, undang-undang tidak akan menciptakan masyarakat. Sesungguhnya yang akan menciptakan masyarakat hanyalah pendidikan yang kontinyu, pengajaran yang menanamkan kesadaran, dan pembinaan yang sungguh-sungguh. Landasan setiap kebangkitan dan perubahan tidak lain adalah membangun manusia yang berfikir dan berhati nurani, beriman dan berakhlak, dan inilah manusia yang baik (al-insan ash-shalih) yang merupakan landasan masyarakat yang baik (al-mujtama’ ash-shalih). Oleh karena itu, wajiblah memberikan perhatian yang sebesar-besarnya kepada lembaga-lembaga pendidikan sejak dari TK hingga perguruan tinggi, agar lembaga lembaga tersebut mengajarkan keimanan di samping ilmu pengetahuan, dan akhlak di samping keterampilan.[19]  
Di antara rambu rambu pendidikan terpenting bagi generasi yang kita cita-citakan ialah: komitmen dengan akidah yang bersih dari khurafat dan tauhid yang bersih dari syirik, keyakinan yang kuat terhadap akhirat, akhlak yang luhur seperti kejujuran, rapi dalam bekerja, memegang amanah dan perjanjian, berani menyatakan kebenaran, memusuhi kebatilan, tulus menyampaikan nasihat, siap berjuang dengan harta dan jiwa di jalan Allah, merubah kemungkaran dengan kemampuan yang dimilikinya, menentang kezhaliman dan kesewenang-wenangan, tidak memihak kepada orang-orang yang zhalim meskipun mereka memiliki kekuasaan sebagaimana Fir’aun atau harta sebagaimana Qarun.[20]
Dengan kata lain, pendidikan yang ideal dalam pandangan Islam adalah pendidikan yang memadukan iman dan ilmu pengetahuan, akhlak dan skill, kecerdasan dan ketakwaan. Inilah cikal-bakal suatu bangsa yang kuat, maju dan beradab. Mustahil masyarakat atau bangsa akan berubah menjadi baik kalau tidak dimulai dengan memperbaiki dan membenahi sistem pendidikannya. Jika umat Islam mau mencermati sejarahnya maka mereka tidak akan mendapatkan suatu sistem pendidikan yang lebih ideal dan lebih unggul selain dari sistem pendidikan Islam.

H.    Kesimpulan
            Dari uraian makalah di atas ada beberapa kesimpulan penting yang dapat penulis ambil, yaitu:
1.    Sekularisme sebagai suatu sistem yang berasal dari Barat - tidak dapat dipungkiri - telah mewarnai pola pendidikan di negeri-negeri kaum muslimin.
2.    Sejarah munculnya sekularisme di Eropa berawal dari adanya pertentangan antara sains dan agama, ya’ni agama Kristen.
3.    Di dalam Islam tidak didapati adanya suatu pertentangan antara sains dan agama. Bahkan ajaran Islam sangat mendorong kemajuan sains. Oleh karena itu, berkembangnya sekularisme di Eropa memiliki alasan yang kuat dan logis, sedangkan di negeri-negeri Islam tidak memiliki alasan untuk dikembangkan.
4.    Di antara dampak buruk sekularisme dalam pendidikan adalah membuka pintu bagi paham atheisme, melemahnya nilai-nilai keimanan dan tersebarnya kerusakan akhlak.
5.    Perlunya para pendidik muslim menyusun sistem pendidikan yang Islami, jauh dari nuansa sekularisme.
6.    Pendidikan yang ideal menurut Islam adalah pendidikan yang memadukan antara iman dan sains, akhlak dan skill, kecerdasan dan ketakwaan.





Daftar Pustaka
al-Juhani, Mani’, 1418 H, Al-Mausu’ah al-Muyassarah fi al-Adyan wa al-Madzhahib wa al-Ahzab al-Mu’ashirah, Riyadh: Dar an-Nadwah al-‘Alamiyyah.
al-Hawali, Safar bin Abdurrahman, al-‘Almaniyyah Nasy’atuha, wa Tathawwuruha wa Atsaryha fi al-Hayah al-Islamiyyah al-Mu’ashirah, Riyadh: al-Maktabah asy-Syamilah.
al-Zunaidi,  Abdurrahman bin Zaid, 2000,  al-‘Aulamah al-Gharbiyyah  wa ash-Shahwah al-Islamiyyah, Riyadh: Dar Isybilia.
al-Qardhawi, Yusuf, 1999, Merasakan Kehadiran Tuhan, Yogyakarta: Mitra Pustaka.
---------------, 1407 H, al-Islam wa al-‘Almaniyyah wajhan li wajhin, Kairo: Maktabah Wahbah.
---------------,1996,  Karakterisitik Islam; Kajian Analitik, Surabaya: Risalah Gusti.
al-Khariji,  Manshur Abdul Aziz, 1420 H, al-Ghazwu ats-Tsaqafi lil Ummah al-Islamiyyah, Riyadh: Dar ash-Shumai’i.
as-Sirjani,  Raghib, 2010, Pengakuan Tokoh Non-Muslim Dunia Tentang Islam, Bandung: Sygma publishing.
Shalih, Sa'ad ad-Din as-Sayyid, 1998, Ihdzaru al-Asalib al-Haditsah fi Muwajahah al-Islam, Syariqah: Maktabah ash-Shahabah.
Sulthan, Jamal, 1994, Pembaruan Pemikiran Islam; Kritik Terhadap Pembaruan, Jakarta: Lembaga Konsultasi Pendidikan dan Sosial Islam (LKPSI).


[1] Dr. Mani’ al-Juhani, Al-Mausu’ah al-Muyassarah fi al-Adyan wa al-Madzhahib wa al-Ahzab al-Mu’ashirah, Riyadh: Dar an-Nadwah al-‘Alamiyyah, 1418 H, jilid 2, hlm. 689.
[2] Dr. Yusuf al-Qardhawi, Karakterisitik Islam; Kajian Analitik, Surabaya: Risalah Gusti, 1996, hlm. 121
[3] Lihat: al-Juhani, Al-Mausu’ah al-Muyassarah,  hlm. 694
[4] Ibid.
[5] http://www.merdeka.com/peristiwa/5-tempat-persembunyian-abg-.html
[6] Manshur Abdul Aziz al-Khariji, al-Ghazwu ats-Tsaqafi lil Ummah al-Islamiyyah, Riyadh: Dar ash-Shumai’i, 1420 H, hlm. 159
[7] Lihat: al-Juhani, Al-Mausu’ah al-Muyassarah,  hlm. 694
[8] Ibid.
[9] Prof. Dr. Abdurrahman bin Zaid al-Zunaidi, al-‘Aulamah al-Gharbiyyah wa ash-Shahwah al-Islamiyyah, Riyadh: Dar Isybilia, 2000, hlm. 35
[10] Dr, Yusuf Qardhawi, Merasakan Kehadiran Tuhan, Yogyakarta: Mitra Pustaka, 1999, hlm. 255
[11] Ibid.
[12] Jamal Sulthan, Pembaruan Pemikiran Islam; Kritik Terhadap Pembaruan, Jakarta: Lembaga Konsultasi Pendidikan dan Sosial Islam (LKPSI), 1994, hlm. 44.
[13] Ibid.
[14] Dr. Safar bin Abdurrahman Al-Hawali,  al-‘Almaniyyah Nasy’atuha, wa Tathawwuruha wa Atsaryha fi al-Hayah al-Islamiyyah al-Mu’ashirah, Riyadh: al-Maktabah asy-Syamilah, hlm. 275.
[15] Ibid.
[16] Jamal Sulthan, Pembaruan Pemikiran Islam; Kritik Terhadap Pembaruan, hlm. 46.
[17] Dr. Raghib as-Sirjani, Pengakuan Tokoh Non-Muslim Dunia Tentang Islam, Bandung: Sygma publishing, 2010, hlm. 354
[18] Dr. Sa'ad ad-Din as-Sayyid Shalih, Ihdzaru al-Asalib al-Haditsah fi Muwajahah al-Islam, Syariqah: Maktabah ash-Shahabah, 1998, hlm. 171.
[19] Dr. Yusuf al-Qardhawi, al-Islam wa al-‘Almaniyyah wajhan li wajhin, Kairo: Maktabah Wahbah, 1407 H, hlm. 34
[20] Ibid.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar