Oleh: Ibrahim Bafadhol
Abstrak
Salah satu prinsip sekularisme dalam
pendidikan adalah memisahkan antara pendidikan akal (intelektual) dan rohani
(spritual). Padahal, manusia –sebagaimana diciptakan Allah- tidaklah
terpecah-pecah. Manusia adalah kesatuan yang sempurna, rohaninya tidak berpisah
dari fisik, dan fisiknya tidak berpisah dari rohani. Ketika pendidikan terpisah
dari petunjuk agama maka yang terjadi adalah kekeringan rohani pada sebagian
siswa dan kebimbangan pada sebagian yang lainnya. Salah satu latar belakang
pemikiran yang melandasi semangat sekularisasi pendidikan di negeri-negeri
Islam adalah, memajukan peradaban di negeri-negeri Islam dengan cara memisahkan
sistem pendidikan dari “campur tangan” agama. Makalah ini menjelaskan beberapa
dampak negatif penerapan sekularisme dalam ranah pendidikan dan juga solusi
yang sekiranya dapat diambil oleh para pendidik muslim.
A. Pengantar
Salah satu tantangan dakwah yang merupakan PR
bersama umat Islam adalah sekularisme. Dalam makalah singkat ini penulis hanya
membatasi sekularisme dalam bidang pendidikan saja. Dengan membaca makalah
singkat ini, penulis berharap masyarakat akan menyadari tentang dampak buruk
sekularisme dalam dunia pendidikan.
Sekularisme identik dengan laa diniyyah
(tidak terikat ad-dien), yaitu sebuah gagasan yang menyeru untuk menegakkan
kehidupan di atas landasan ilmu dan akal serta memperhatikan kemaslahatan tanpa
terikat dengan agama.. Makna yang telah disepakati dari kata sekularisme adalah
memisahkan agama dari negara serta kehidupan bermasyarakat dan mempersempit
ruang bagi agama sehingga hanya tersimpan pada jiwa setiap individu, tidak
boleh melampaui hubungan khusus antara dia dengan Rabbnya. Jika agama hendak
diekspresikan, maka hanya boleh pada ritual-ritual peribadatan dan hal-hal yang
terkait dengan perkawinan dan kematian saja. Sekularisme sejalan dengan agama
Kristen dalam hal memisahkan antara agama dan negara, ya’ni wewenang negara
adalah urusan kaisar sedangkan wewenang gereja adalah urusan Allah. Hal ini
nampak jelas dari sebuah ungkapan yang dinisbatkan kepada al-Masih, “Berikanlah
hak kaisar untuk kaisar dan hak Allah untuk Allah.” Adapun dalam Islam, dikotomi
semacam ini tidak dikenal karena seorang muslim seluruhnya milik Allah, dan
kehidupan seluruhnya milik Allah. Allah
berfirman:
ö@è% ¨bÎ) ÎAx|¹ Å5Ý¡èSur y$uøtxCur ÎA$yJtBur ¬! Éb>u tûüÏHs>»yèø9$# ÇÊÏËÈ
“Katakanlah:
Sesungguhnya shalatku, ibadatku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan
semesta alam.” (QS. al-An‘am: 162) [1]
B. Keterpaduan dalam pendidikan adalah tuntutan
fitrah
Salah satu titik kelemahan sekularisme dalam
pendidikan adalah memisahkan antara pendidikan akal (intelektual) dan rohani
(spritual). Padahal, manusia –sebagaimana diciptakan Allah- tidaklah
terpecah-pecah dan terbagi-bagi. Manusia adalah kesatuan yang sempurna dan satu
eksistensi, rohaninya tidak berpisah dari fisik, dan fisiknya tidak berpisah
dari rohani, akalnya tidak berpisah dari perasaan dan perasaannya tidak berpisah dari akal. Manusia adalah sebuah kesatuan
yang tidak terbagi-bagi menjadi fisik, rohani, akal dan hati nurani. Karenanya,
tujuan, sasaran dan jalannya harus satu. Dan inilah yang telah ditetapkan
Islam. Islam menjadikan tujuan manusia satu yaitu Allah, dan sasarannya adalah
akhirat. [2]
Ketika pendidikan terpisah dari petunjuk agama
maka yang terjadi adalah kekeringan rohani pada sebagian siswa dan kebimbangan
pada sebagian yang lainnya. Oleh karena itu, pendidikan mestilah terpadu
sebagaimana hakikat manusia juga terpadu.
C. Dampak Buruk Sekularisme Dalam Bidang
Pendidikan
Dari pengantar di atas menjadi jelas bahwa
sekularisme adalah sebuah pola hidup yang jauh dari cahaya wahyu. Oleh karena
itu, dampak buruk dari penerapan sekularisme dalam pendidikan tidak dapat
dihindari. Di antara sekian banyak dampak buruk tersebut adalah:
1. Membuka pintu bagi tumbuhnya paham atheisme.
Ini dikarenakan paham sekularisme tidak menanamkan keyakinan terhadap Allah
Sang Pencipta dalam jiwa para siswa, bahkan yang terjadi justru mengajarkan
teori yang mengarah kepada atheisme seperti teori Darwin, teori asal-usul
terjadinya alam semesta dan sebagainya.[3]
Penulis pernah berdialog dengan seorang mahasiswa Muslim Indonesia yang
menempuh pendidikan pascasarjana di Amerika Serikat. Ia mengaku bahwa setelah
beberapa tahun kuliah di Amerika ia jadi ragu dengan semua agama bahkan hingga
ragu akan keberadaan Allah. Akhirnya ia meninggalkan shalat sampai bertahun-tahun.
Juga tidak lagi pernah berdoa kepada Allah. Ia merasa tidak lagi butuh kepada
Tuhan. Beruntung ia tersadarkan oleh suatu musibah. Setelah bertahun-tahun ia
tidak beragama ia tertimpa suatu kesulitan dan musibah yang memaksanya untuk
berdoa kepada Allah dan memohon pertolongan kepada-Nya. Ia telah lupa sama
sekali dengan kaifiyat shalat dan bacaaan-nya. Akhirnya ia belajar kembali
tentang tata cara shalat, alhamdulillah.
2. Membuka pintu lebar-lebar bagi kerusakan
akhlak. Sekularisme tidak memandang tabu atau aib pergaulan bebas antara
siswa-siswi selama mereka sudah dewasa dan dilakukan dengan pillihan mereka
sendiri.[4]
Bukti akan hal ini adalah maraknya kenakalan remaja dan dekadensi moral di
kalangan para pelajar. Media massa banyak merekam hal ini. Pergaulan bebas atau
seks bebas di kalangan anak baru gede (ABG) di kota-kota besar Indonesia sudah
sangat mengkhawatirkan. Menurut sebuah survei, lebih dari 50 persen ABG di
kota-kota besar sudah tidak perawan lagi akibat pergaulan bebas. [5]
3. Terputusnya hubungan sejarah dengan para
pendahulu kaum Muslimin yang luhur.
Dalam buku-buku pelajaran sejarah yang diajarkan di sekolah-sekolah, para
siswa hanya diajarkan sejarah nasional yang dimulai dari berdirinya kerajaan
Sriwijaya, Majapahit dan sebagainya. Sedangkan tentang sejarah para khalifah
yang lurus (al-khulafa’ ar-rasyidin) samasekali tidak diajarkan. Begitu
pula kepahlawanan para sahabat Nabi shallallahu ‘aliahi wasallam yang
lainnya. Sehingga para pelajar dan generasi muda tidak mengenal dengan baik
sejarah para pendahulu mereka yang luhur dan layak dijadikan teladan. Dengan
demikian terjadilah keterputusan ikatan sejarah antara para pelajar muslim
dengan para pendahulu mereka yang shalih.
Ini adalah sebuah rekayasa para orientalis yang disengaja, ya’ni membuat
generasi muda muslim mengabaikan sejarah para leluhur mereka yang agung mulai
dari sirah nabawiyah hingga sejarah para pahlawan Islam, penakluk,
ulama, tokoh-tokoh ternama dan para da’i yang telah berjasa membawa obor
Islam yang terang-benderang pada setiap
masa dan tempat.[6]
4. Terabaikannya pendidikan rohani. Hal ini
dikarenakan sekularisme melupakan karakter manusia yang terdiri dari unsur
fisik dan psikis, atau jasmani dan rohani. Ia hanya memberikan perhatian besar
pada sisi fisik dan tidak peduli dengan tuntutan rohani. Tidak terpenuhinya
kebutuhan rohani akan memicu timbulnya kriminalitas dan penyimpangan moral.[7]
Penulis mengamati bahwa pelajaran agama yang hanya dua jam pelajaran dalam
seminggu sama sekali tidak memenuhi kebutuhan siswa akan pembinaan rohani dan
keagamaan yang baik. Ditambah lagi, dalam ujian nasional (UN), mata pelajaran
agama tidak termasuk dalam mata pejaran yang diujikan, sehingga hal ini membuat
para siswa berpandangan bahwa mata pelajaran agama tidak terlalu penting.
5. Mengaburkan keimanan terhadap perkara-perkara
yang ghaib. Dalam sistem sekularisme, fenomena-fenomena alam dikaji dan
dianalisa secara eksperimental dan terlepas dari kekuasaan Ilahi. Di samping
itu juga meremehkan perkara-perkara ghaib seperti keimanan kepada hari akhir,
pahala, dosa dan sebagainya. Akibatnya, sebagai hasil dari pendidikan yang
sekular itu tumbuhlah suatu masyarakat yang tujuan hidupnya adalah kesenangan
dunia semata.[8]
6. Pergeseran nilai-nilai dan norma-norma.
Pendidikan yang sekular berdampak menghapus nilai-nilai dan norma-norma Islami
dari jiwa para siswa, lalu mengantinya dengan nilai-nilai Barat. Sebagai
contoh, idola dan ketokohan dalam masyarakat Islam teruntuk orang-orang yang
shalih dan komitmen dengan syari’at, baik mereka para ulama yang rabbani atau
para pemimpin yang shalih. Jadi, standar kemuliaan dan keutamaan adalah
ketakwaan. Akan tetapi kini, kita dapati dalam masyarakat kita yang telah
tersekularkan, tokoh dan idola yang selalu disorot oleh media massa dan
dikagumi oleh masyarakat luas adalah orang-orang yang jusrtu rendah ketakwaannya,
bahkan dapat dikatakan fasik seperti: artis, penyanyi, pelawak, atlet dan
sebagainya.[9]
Inilah beberapa di antara dampak buruk diadopsinya sistem sekularisme dalam
dunia pendidikan kita. Dengan mencermati dampak-dampak buruk tersebut tentu
kita tidak dapat menganggap ringan permasalahan ini.
7. Pendidikan
yang dipisahkan dari nuansa religius hanya akan melahirkan berbagai
kepincangan dan problem. Seorang psikiater Amerika Serikat dalam bukunya yang
berjudul Kembali kepada Iman, menekankan pentingnya pendidikan generasi
muda dengan nuansa religius. Ia memaparkan kesalahan pendapat sebagian pendidik
yang hendak menjauhkan jiwa agama dalam pendidikan anak-anak. Ia mengakui bahwa
pendidikan adalah suatu tugas yang amat kompleks dan rumit, terkait dengan banyak
faktor. Selain itu, para pendidik memerlukan bantuan luar untuk menanamkan
nilai-nilai terpuji ke dalam jiwa anak-anak didiknya. Ia mengkritik para
pendidik yang merasa dirinya terpelajar kemudian merasa tidak membutuhkan
nilai-nilai agama, dan mencari sumber baru yang dianggapnya dapat menolong.
Mereka pun menemukan psikologi anak. Akan tetapi ilmu ini tidak dapat dipegang
sepenuhnya atau dipercaya seratus persen tentang kebenarannya. [10]
Ia menekankan pula pentingnya kembali kepada
agama dan mengikuti cara-cara yang digariskan oleh agama dalam mendidik
generasi dan memperbaiki moral mereka. Ia berpendapat bahwa tidak ada jalan
yang lebih baik untuk mendidik generasi selain mengucapkan kepada mereka, “Ini
baik, karena Allah memerintahkannya. Allah menyukai dan senang kepada yang baik
dan akan memberikan balasan surga kepada orang-orang yang berbuat baik. Ini
buruk, karena Allah melarangnya. Allah benci dan murka melihatnya, dan ananti
akan menyiksa dengan neraka kepada orang yang melakukannya.”
Cara yang demikian lebih baik daripada
mengatakan, “Ini baik atau buruk, karena begitu pandangan ibu bapak, dan
pandangan masyarakat...” dan seterusnya. Yang disebut terakhir memiliki kesan
sementara, dan kelak anak akan berpendapat bahwa pandangan masyarakat telah
berubah seiring dengan perkembangan zaman.[11]
D. Latar belakang sekularisme pendidikan di
negeri-negeri Islam
Salah satu latar belakang pemikiran yang
melandasi semangat sekularisasi pendidikan di negeri-negeri Islam adalah,
memajukan peradaban di negeri-negeri Islam dengan cara memisahkan sistem
pendidikan dari “campur tangan” agama. Para pengusung sekularisasi itu
beranggapan bahwa kemajuan dan modernisasi tidak akan dapat diraih kecuali jika
kita telah menanggalkan atribut-atribut agama yang merupakan belenggu dan beban
berat untuk mencapai kemajuan. Anggapan semacam ini banyak mewarnai pola pikir
para cendekiawan kita, khususnya para
alumnus barat. Asumsi ini adalah salah satu keberhasilan ghazwul
fikri dalam mewarnai pola pikir generasi muda kita.
Para pemikir Eropa, seperti Arnold Toynbee,
berusaha menanamkan pendapatnya di benak orang-orang non-Eropa bahwa memegang
nilai-nilai budaya Eropa adalah syarat penting untuk memperoleh kemajuan
tekhnologi dan sains. Lebih dari itu, Toynbee menegaskan bahwa di hadapan dunia
sekarang hanya ada dua alternatif, yaitu mengikuti jejak langkah Eropa atau
hancur. Para pengusung sekularisasi terus mengulang-ulang ungkapan seperti itu
tanpa dapat menopangnya dengan argumentasi yang ilmiah dan obyektif.[12]
Sebenarnya, jika dianalisa secara ilmiah dan
kritis, pendapat itu tidak tepat. Adalah sesuatu yang pasti bahwa sains (ilmu
pengetahuan) tidak terikat dengan negeri atau kebangsaan tertentu sebab ia
terkait dengan alam (fisis) yang hukum-hukumnya tetap dan tidak pandang bulu
serta terkait dengan materi yang mempunyai sifat sifat tetap pula. Berbeda
dengan budaya yang mengandung nilai nilai pikiran, psikologis, spritual dan
moral. Jadi budaya merupakan hasil peradaban yang sangat terkait dengan
kepribadian dan ciri ciri khusus setiap bangsa, dari segi agama dan ideologi.
Demikianlah,
-mau atau tidak- kita harus berkata, bahwa ungkapan ungkapan para pengusung
sekularisme itu adalah ekspresi atau manifestasi dari sikap kejiwaan yang
keliru terhadap peradaban Eropa, peradaban Islam dan sendi sendinya yang asli.
Mungkin sikap kejiwaan yang keliru itulah yang sejak lama diungkapkan oleh
peneliti Muslim asal Austria, Leopold Weiss (Muhammad Asad):
“Sesungguhnya kecenderungan meniru budaya
asing akibat merasa kekurangan, ini saja penyakit –tidak ada lain- yang menimpa
kaum muslimin yang meniru budaya Barat.” [13]
E. Perbedaan antara Islam dan Kristen dalam
memandang ilmu
Salah satu penyebab munculnya sekularisme di
Eropa adalah sikap gereja dan para pemuka-pemukanya yang memusuhi ilmu
pengetahuan. Gereja dengan semangat doktrinnya yang tidak ilmiah, telah
terbukti berulang kali menyatakan sesuatu yang sangat bertentangan dengan ilmu
pengetahuan.
Safar al-Hawali, dalam bukunya, al-‘Almaniyyah;
Nasya’tuha wa Tathawwuruha wa Atsaruha, mengungkapkan banyak fakta tentang
perdebatan antara ilmu pengetahuan dan gereja di abad-abad pertengahan. Di
antaranya adalah:
Gereja berpendapat bahwa bumi adalah datar dan
ia sebagai pusat tatasurya. Sedangkan Copernicus berpendapat bahwa bumi adalah
bulat dan ia berputar di sekitar matahari. Kemudian terbukti bahwa gereja
berdusta dan ilmu pengetahuan-lah yang benar.
Gereja berkeyakinan bahwa 1+1+1= 1, sedangkan
matematika dasar menyatakan bahwa hasil dari penjumlahan itu adalah 3. Gerja
berpendapat –karena mengikuti teori Aristoteles- bahwa lam semesta terdiri dari
emapat unsur, sedangkan ilmu pengetahuan menyatakan bahwa unusr-unsur di alam semesta
lebih dari sembilan puluh. Dan terbukti bahwa ilmu pengetahuan benar dan
gereja-lah yang salah.
Gereja berkata bahwa Taurat, Injil dan
surat-surat rasul adalah kitab-kitab wahyu dari Allah, sedangkan para kritikus
sejarah mengatakan bahwa kitab-kitab itu adalah susunan para penulis yang
kurang obyektif. Kemudian terbukti bahwa mereka benar dan gereja keliru. Gereja
berkata sesungguhnya roti dan anggur pada perjamuan tuhan akan berubah menjadi
darah dan jasad al-Masih, sedangkan ilmu pengetahuan dan akal secara aksioma
menyatakan bahwa hal itu mustahil.
Gereja berkata sesungguhnya penyakit itu dari
setan dan mengobatinya adalah dengan mengadakan kebaktian dan mengusap-usap
salib, sedangkan ilmu pengetahuan berkata sesungguhnya penyakit disebabkan oleh
zat-zat yang sangat kecil (kuman) yang dapat dimusnahkan dengan bahan-bahan
kimia.[14]
Rentetan panjang kekeliruan gereja ini membuat
orang-orang berkesimpulan bahwa ilmu pengetahuan senantiasa benar sedangkan
agama selalu keliru. Terlebih lagi gereja telah menegaskan bahwa tidak ada yang
berhak disebut agama kecuali ajaran-ajaran gereja yang suci. Sehingga, logis
sekali jika suara-suara yang memprotes gereja terdengar nyaring dari kalangan
peneliti dan selain mereka, “Bebaskan ilmu dari belenggu gereja dan biarkan
ajaran-ajaran gereja pergi ke neraka.” Inilah salah satu faktor yang melatarbelakangi sekularisme ilmu pengetahuan
di Eropa.[15]
Sedangkan jika kita berbicara tentang Islam, dapat dikatakan bahwa pendapat
yang menyatakan bahwa terdapat kontradiksi antara Islam dan sains ataupun
teknologi adalah jauh dari kebenaran, baik ditinjau secara normatif ataupun
secara ilmiah.
Seorang
cendekiawan wanita Itali, Lurofishia Faghrily, menulis pada akhir studinya
tentang Islam sebagai berikut:
“Sesungguhnya Islam, agama yang menjadikan berfikir
sebagai landasannya dan membuka luas luas aspek ini bagi akal dan menyuruh
manusia untuk memaksimalkan seluruhnya potensi yang Allah berikan kepada
manusia, termasuk di antaranya potensi terbesar ini yaitu kecerdasan; sesungguhnya
agama seperti ini tak mungkin menjadi kendala bagi ilmu/sains dan filsafat.” [16]
Seorang sejarawan besar Amerika, William James Durant (Will Durant) banyak
memberikan kesaksiaannya yang positif tentang penghargaan dan perhatian Islam
terhadap ilmu pengetahuan. Ia menulis dalam bukunya, The Story of
Civilization, beberapa hal yang mengagumkan tentang Islam. Ia berkata:
Ulama dalam
pandangan Islam bukan hanya mereka yang mengajar agama di masjid-masjid yang
tersebar dari Cordova hingga Samarkand. Semua ahli ilmu bersumberkan nilai-nilai
Qur’ani, baik pakar geografi, sejarawan, sastrawan, kimiawan, ahli geometri,
astronomi, dan ilmu-ilmu lainnya juga disebut ulama. Para penguasa muslim juga
men-support para sastrawan dan seniman muslim untuk menampilkan
karya-karya mereka dengan menggelar diskusi-diskusi ilmiah ataupun filsafat.
Para penguasa muslim tidak pernah pelit membantu pengadaan dana untuk kegiatan
seni budaya dan keilmuan. Gairah keilmuan di wilayah-wilayah kekuasaan Islam
tidak pernah mati dan para ilmuwan muslim di semua bidang keilmuan tidak
terhitung banyaknya.[17]
Sesungguhnya
tidak perlu disangsikan lagi bahwa dalam Islam tidak terdapat pertarungan
antara agama dan ilmu pengetahuan, bahkan Islam membuka pintu lebar-lebar bagi
ilmu pengetahuan, pemikiran, dan penelitian. Islam tidak mengikat kebebasan
para ilmuwan dan peneliti. Al-Qur'an telah menyeru kepada ilmu pengetahuan
dengan segala metodologinya pada lebih dari tujuh ratus lima puluh ayat. Dengan
panduan al-Qur'an tumbuhlah di negeri-negeri Islam kebangkitan ilmu
pengetahuan, dan para ilmuwan Muslim telah menguasai metodologi penelitan
ilmiah dan menerapkannya dalam penelitian-penelitian mereka hingga menemukan
banyak sekali penemuan-penemuan ilmiah dalam berbagai bidang seperti kimia,
kedokteran, astronomi dan sebagainya. Ini semua merupakan bukti bahwa dalam Islam
tidak terdapat pertentangan antara ilmu dan agama. Oleh karena itu, pemikiran
untuk memisahkan ilmu pengetahuan dari agama adalah sesuatu yang tidak
beralasan dalam pandangan Islam.[18]
F. Solusi terhadap sekularisme pendidikan
Telah jelas
bahwa sekularisme, khususnya dalam bidang pendidikan, adalah sebuah tantangan
dakwah kontemporer yang tidak ringan. Umat Islam harus bahu membahu untuk
menghadapi satu arus yang merusak ini. Di antara solusi yang dapat dilakukan
adalah:
1. Para peneliti dan cendekiawan muslim hendaknya
giat menulis buku-buku yang menyadarkan umat akan bahaya sekularisme ini.
Begitu pula para ulama, khatib, da’i dan para jurnalis, semuanya harus
melaksanakan kampanye penyadaran umat. Semua media –seperti mimbar jum’at,
surat kabar, radio dan televisi- harus diberdayakan untuk hal ini.
2. Para ahli pendidikan Muslim dituntut untuk menyusun
kurikulum pendidikan yang memadukan antara sains dan keimanan. Tidak hanya menyusun
kurikulum, tetapi juga buku-buku pelajaran yang menunjang kurikulum tersebut.
3. Sekolah-sekolah Islam hendaknya menerapkan
kurikulum tersebut sehingga menjadi proyek percontohan pola pendidikan yang
religius. Besarnya minat para orang tua untuk menyekolahkan anak-anak mereka di
sekolah-sekolah Islam terpadu adalah suatu bukti kepercayaan kaum muslimin
terhadap sistem pendidikan yang non-sekuler.
4. Para guru Muslim yang mengajar di
sekolah-sekolah sekular hendaknya meng-Islamisasi mata pelajaran yang mereka
ampu. Mereka harus memberikan nuansa religius pada setiap mata pelajaran yang
mereka ajarkan kepada para anak didiknya.
Inilah beberapa solusi yang dapat penulis tawarkan agar umat Islam dapat
secara bersama-sama melawan arus global sekularisme.
G. Pendidikan Yang Ideal Menurut Islam
Islam
memperhatikan pendidikan dan pengajaran sebagaimana perhatiannya terhadap
perundang-undangan dan tasyri’, bahkan sebelum perhatiannya terhadap
perundang-undangan dan tasyri’. Karena, undang-undang tidak akan
menciptakan masyarakat. Sesungguhnya yang akan menciptakan masyarakat hanyalah
pendidikan yang kontinyu, pengajaran yang menanamkan kesadaran, dan pembinaan
yang sungguh-sungguh. Landasan setiap kebangkitan dan perubahan tidak lain
adalah membangun manusia yang berfikir dan berhati nurani, beriman dan
berakhlak, dan inilah manusia yang baik (al-insan ash-shalih) yang
merupakan landasan masyarakat yang baik (al-mujtama’ ash-shalih). Oleh
karena itu, wajiblah memberikan perhatian yang sebesar-besarnya kepada
lembaga-lembaga pendidikan sejak dari TK hingga perguruan tinggi, agar lembaga
lembaga tersebut mengajarkan keimanan di samping ilmu pengetahuan, dan akhlak
di samping keterampilan.[19]
Di antara rambu
rambu pendidikan terpenting bagi generasi yang kita cita-citakan ialah:
komitmen dengan akidah yang bersih dari khurafat dan tauhid yang bersih dari
syirik, keyakinan yang kuat terhadap akhirat, akhlak yang luhur seperti
kejujuran, rapi dalam bekerja, memegang amanah dan perjanjian, berani
menyatakan kebenaran, memusuhi kebatilan, tulus menyampaikan nasihat, siap
berjuang dengan harta dan jiwa di jalan Allah, merubah kemungkaran dengan
kemampuan yang dimilikinya, menentang kezhaliman dan kesewenang-wenangan, tidak
memihak kepada orang-orang yang zhalim meskipun mereka memiliki kekuasaan
sebagaimana Fir’aun atau harta sebagaimana Qarun.[20]
Dengan kata
lain, pendidikan yang ideal dalam pandangan Islam adalah pendidikan yang
memadukan iman dan ilmu pengetahuan, akhlak dan skill, kecerdasan dan
ketakwaan. Inilah cikal-bakal suatu bangsa yang kuat, maju dan beradab.
Mustahil masyarakat atau bangsa akan berubah menjadi baik kalau tidak dimulai
dengan memperbaiki dan membenahi sistem pendidikannya. Jika umat Islam mau
mencermati sejarahnya maka mereka tidak akan mendapatkan suatu sistem
pendidikan yang lebih ideal dan lebih unggul selain dari sistem pendidikan
Islam.
H. Kesimpulan
Dari uraian makalah di
atas ada beberapa kesimpulan penting yang dapat penulis ambil, yaitu:
1. Sekularisme sebagai suatu sistem yang berasal
dari Barat - tidak dapat dipungkiri - telah mewarnai pola pendidikan di
negeri-negeri kaum muslimin.
2. Sejarah munculnya sekularisme di Eropa berawal
dari adanya pertentangan antara sains dan agama, ya’ni agama Kristen.
3. Di dalam Islam tidak didapati adanya suatu
pertentangan antara sains dan agama. Bahkan ajaran Islam sangat mendorong
kemajuan sains. Oleh karena itu, berkembangnya sekularisme di Eropa memiliki
alasan yang kuat dan logis, sedangkan di negeri-negeri Islam tidak memiliki
alasan untuk dikembangkan.
4. Di antara dampak buruk sekularisme dalam
pendidikan adalah membuka pintu bagi paham atheisme, melemahnya nilai-nilai
keimanan dan tersebarnya kerusakan akhlak.
5. Perlunya para pendidik muslim menyusun sistem
pendidikan yang Islami, jauh dari nuansa sekularisme.
6. Pendidikan yang ideal menurut Islam adalah
pendidikan yang memadukan antara iman dan sains, akhlak dan skill,
kecerdasan dan ketakwaan.
Daftar Pustaka
al-Juhani, Mani’, 1418 H, Al-Mausu’ah
al-Muyassarah fi al-Adyan wa al-Madzhahib wa al-Ahzab al-Mu’ashirah,
Riyadh: Dar an-Nadwah al-‘Alamiyyah.
al-Hawali, Safar bin Abdurrahman, al-‘Almaniyyah
Nasy’atuha, wa Tathawwuruha wa Atsaryha fi al-Hayah al-Islamiyyah al-Mu’ashirah,
Riyadh: al-Maktabah asy-Syamilah.
al-Zunaidi, Abdurrahman bin Zaid, 2000, al-‘Aulamah al-Gharbiyyah wa ash-Shahwah al-Islamiyyah, Riyadh: Dar
Isybilia.
al-Qardhawi, Yusuf, 1999, Merasakan Kehadiran Tuhan,
Yogyakarta: Mitra Pustaka.
---------------, 1407 H, al-Islam wa
al-‘Almaniyyah wajhan li wajhin, Kairo: Maktabah Wahbah.
---------------,1996, Karakterisitik Islam; Kajian Analitik, Surabaya: Risalah Gusti.
al-Khariji, Manshur Abdul Aziz, 1420 H, al-Ghazwu
ats-Tsaqafi lil Ummah al-Islamiyyah, Riyadh: Dar ash-Shumai’i.
as-Sirjani, Raghib, 2010, Pengakuan Tokoh Non-Muslim
Dunia Tentang Islam, Bandung: Sygma publishing.
Shalih, Sa'ad ad-Din as-Sayyid, 1998, Ihdzaru
al-Asalib al-Haditsah fi Muwajahah al-Islam, Syariqah: Maktabah
ash-Shahabah.
Sulthan, Jamal, 1994, Pembaruan Pemikiran
Islam; Kritik Terhadap Pembaruan, Jakarta: Lembaga Konsultasi Pendidikan
dan Sosial Islam (LKPSI).
[1]
Dr. Mani’ al-Juhani, Al-Mausu’ah
al-Muyassarah fi al-Adyan wa al-Madzhahib wa al-Ahzab al-Mu’ashirah,
Riyadh: Dar an-Nadwah al-‘Alamiyyah, 1418 H, jilid 2, hlm. 689.
[2] Dr. Yusuf al-Qardhawi, Karakterisitik
Islam; Kajian Analitik, Surabaya: Risalah Gusti, 1996, hlm. 121
[3] Lihat: al-Juhani, Al-Mausu’ah
al-Muyassarah, hlm. 694
[5]
http://www.merdeka.com/peristiwa/5-tempat-persembunyian-abg-.html
[6] Manshur Abdul Aziz al-Khariji, al-Ghazwu
ats-Tsaqafi lil Ummah al-Islamiyyah, Riyadh: Dar ash-Shumai’i, 1420 H, hlm.
159
[7] Lihat: al-Juhani, Al-Mausu’ah
al-Muyassarah, hlm. 694
[8] Ibid.
[9] Prof. Dr. Abdurrahman bin Zaid
al-Zunaidi, al-‘Aulamah al-Gharbiyyah wa ash-Shahwah al-Islamiyyah,
Riyadh: Dar Isybilia, 2000, hlm. 35
[10] Dr, Yusuf Qardhawi, Merasakan Kehadiran Tuhan, Yogyakarta: Mitra
Pustaka, 1999, hlm. 255
[12] Jamal Sulthan, Pembaruan Pemikiran Islam; Kritik Terhadap Pembaruan,
Jakarta: Lembaga Konsultasi Pendidikan dan Sosial Islam (LKPSI), 1994, hlm. 44.
[14] Dr. Safar bin Abdurrahman Al-Hawali, al-‘Almaniyyah Nasy’atuha, wa Tathawwuruha
wa Atsaryha fi al-Hayah al-Islamiyyah al-Mu’ashirah, Riyadh: al-Maktabah
asy-Syamilah, hlm. 275.
[15] Ibid.
[16] Jamal Sulthan, Pembaruan Pemikiran Islam; Kritik Terhadap Pembaruan,
hlm. 46.
[17] Dr. Raghib as-Sirjani, Pengakuan Tokoh Non-Muslim Dunia Tentang Islam,
Bandung: Sygma publishing, 2010, hlm. 354
[18] Dr. Sa'ad ad-Din as-Sayyid Shalih, Ihdzaru al-Asalib al-Haditsah fi
Muwajahah al-Islam, Syariqah: Maktabah ash-Shahabah, 1998, hlm. 171.
[19] Dr. Yusuf al-Qardhawi, al-Islam wa
al-‘Almaniyyah wajhan li wajhin, Kairo: Maktabah Wahbah, 1407 H, hlm. 34
[20] Ibid.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar